Kebijakan Walikota Jayapura: Langkah Terbaik Demi Kedamaian Warga


Papua, Jayapura — Belakangan ini muncul penolakan dari sebagian mahasiswa terhadap kebijakan Pemerintah Kota Jayapura yang membatasi penyampaian pendapat di muka umum. Menanggapi hal tersebut, saya ingin memberikan pandangan sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap keamanan dan ketertiban di kota ini.


Saya memahami alasan para mahasiswa. Mereka berpendapat bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu benar dan tidak dapat dibantah. Namun, perlu diingat pula bahwa hak kebebasan berpendapat tidak boleh mengabaikan hak warga lainnya untuk hidup damai dan aman dalam beraktivitas sehari-hari.


Seperti yang tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,


> “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”


Artinya, negara menjamin tidak hanya kebebasan berekspresi, tetapi juga hak setiap orang untuk merasa aman dan terlindungi dari tindakan yang mengancam ketenteraman umum.


Kita perlu jujur mengakui bahwa setiap kali aksi demonstrasi dilakukan di Jayapura, terutama di kawasan Abepura, sering kali berakhir dengan keributan. Tidak sedikit terjadi tindakan yang berujung pada perusakan kendaraan, pencurian, hingga pelemparan toko dan rumah warga. Kejadian-kejadian seperti ini bukan baru sekali, melainkan telah berulang kali terjadi.


Pertanyaannya, apakah para mahasiswa pernah memikirkan hak masyarakat sekitar yang ingin beraktivitas dengan tenang? Apakah mereka menyadari bahwa warga yang berdagang, bekerja, atau sekadar melintas di lokasi aksi, justru menjadi korban ketidaknyamanan? Di sini letak persoalan utamanya — ketika kebebasan yang diperjuangkan justru mengganggu hak dan kebebasan orang lain.


Yang lebih disayangkan lagi, sebagian aksi bahkan ditutup dengan seruan “Papua Merdeka!” Seruan seperti ini tentu menimbulkan persepsi bahwa aksi tersebut bukan lagi murni penyampaian aspirasi, melainkan telah disusupi kepentingan politik yang bertentangan dengan semangat kebangsaan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Masyarakat Papua sebenarnya sangat memahami arti kebebasan menyampaikan pendapat. Namun mereka juga paham membedakan antara aspirasi yang tulus dan tindakan yang menimbulkan keresahan. Karena itulah, sejumlah kepala kampung mewakili warga mengajukan permintaan kepada Wali Kota Jayapura untuk menertibkan kegiatan unjuk rasa agar tidak lagi meresahkan.


Kebijakan Wali Kota Jayapura yang lahir dari aspirasi masyarakat ini adalah langkah bijak dan patut didukung. Setiap warga yang menaati aturan tentu tidak perlu khawatir, sebab kebijakan ini bukan untuk membungkam, melainkan untuk menertibkan dan menjaga kenyamanan bersama.


Pesan penting dari kebijakan ini adalah mengajak mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara bermartabat — melalui dialog, diskusi, dan jalur resmi yang lebih intelektual serta konstruktif. Dengan begitu, suara rakyat tetap tersampaikan tanpa mengorbankan kedamaian publik.


Sudah saatnya kita menyadari bahwa perubahan peradaban menuju masyarakat yang lebih tertib dan beradab dimulai dari sikap saling menghormati. Mari kita jaga kota ini agar tetap damai — damai dalam beraktivitas, dan damai dalam menyampaikan pendapat.


Kebijakan Wali Kota Jayapura adalah langkah terbaik untuk memberikan rasa aman, tenteram, dan bermartabat bagi seluruh warganya.


Terima kasih.

Posting Komentar

0 Komentar